Kamis, Desember 18, 2008

Harapan dan Kenyataan (Maryamah Karpov)


Baru-baru ini saya dikejutkan dengan beragam komentar di milis buku tentang karya Andrea Hirata terakhir yang berjudul Maryamah Karpov, dimana sebuah harapan dan kenyataan sangatlah berbeda jauh. Bahkan timpang antara bumi dan langit. Judul yang menjadi topik tulisan serasa hambar, karena itu hanyalah sebuah permainan dari sebuah penerbit atas dasar kepopuleran. Sungguh hal ini membuat banyak orang dibuat membara ketika membaca novel ini.

Beberapa orang bahkan tidak mau melanjutkan novel ini dalam beberapa bab saja, ada lagi yang mencak-mencak isi dari buku ini hanyalah bualan omong kosong tak berisi, bahkan ada beberapa orang yang akan memboikot produk Bentang Pustaka (Nah lho, ngeri gak tuh?…). Apapun masalahnya, ini semua terletak pada permainan harapan yang disajikan penerbit ketika akan melaunching buku ini. Janji-janji dan isi tidak sesuai, bahkan timpang sangat jauh. Para pembaca seperti menemukan prilaku caleg ketika akan menduduki kursi MPR/DPR. Sungguh ini semua menjadi persoalan serius ketika sebuah harapan berbeda kenyataan.

Meski begitu di sisi lain, saya merasa senang, karena publik Indonesia sudah mulai kritis terhadap sebuah bacaan. Ini menandakan sebuah kemajuan pesat dari sebuah pemikiran bangsa akan sebuah kualitas dari tulisan. Dan ini juga membuat mata kita tersadar bahwa tidak semua nama besar menjamin sebuah mutu. Artinya pilihan nama besar tidak bisa dijadikan jaminan mutu sebuah produk, meski di kala sebelumnya sudah teruji bahwa produk yang dihasilkan baik. Ingat Andrea Hirata juga manusia biasa, jadi sangatlah wajar jikalau ia melakukan kesalahan dalam sebuah penulisan. Meski sebenarnya kesalahan tersebut adalah sebuah kefatalan yang tidak perlu dilakukan. Sebab karya terakhir ini adalah karya pamungkas yang seharusnya menjadi penutup manis dari sebuah karya.

Meski karya terakhir ini melunturkan dirinya, saya tetap angkat topi untuk beliau. Sebab di karya terakhirnya-meski tidak sebaik tiga karyanya-mampu menjadi fenomena tersendiri dan menjadi pembicaraan hangat di kalangan pecinta buku. Karya kita saja belum tentu bisa menjadi buah bibir secara berkala. Jadi bisa dibilang karya terakhir ini sukses menjadi sebuah pengingat, meski tidak sukses secara kualitas.

Selamat buat anda yang kritis melihat karya ini, selamat juga buat Andrea yang telah berhasil menyihir sebuah buku menjadi sebuah konsumsi wajib untuk dibaca. Tanpa dia, ranah sastra kita, tidak mungkin seramai ini. Terakhir selamat untuk penerbit yang sudah membuai harapan dengan sebuah kenyataan yang tak pantas, karena dari kasus ini mata kita bisa menjadi lebih kritis lagi dalam menilai karya yang dihasilkan penerbit anda.

Salam Inspirasi

Irawan Senda

1 komentar:

Anonim mengatakan...

oy oy... keren juga nih postingnya, kritis... hehehe.. tapi bagiku pribadi sih, mungkin emang udah biasa banget masalah mengenai "politik penerbit", namanya juga orang nyari duit, gak mungkin pengen rugi dong... hehehe... makanya, kita sebagai konsumen musti pinter, biar gak ketipu. Simpel aja sih penyelesaiannya.

Trus, mengenai "ranah sastra", kayaknya (menurutku dan beberapa teman penyair senior), buku-buku andrei sepertinya masih dikategorikan pop. Jujur, pas pertama kali baca buku pertamanya, aku hampir "kesasar", dan pastinya...... (isilah titik-titik di pinggir ini, hehehe) karena aku pernah hampir "dikecewain habis-habisan" sama sebuah novel sastra (pop) terbitan penerbit ulung di negeri ini, sampe2 aku nafsu pengen duit aku kembali (ulasannya ada di blogku di ramoncapoet.blogspot.com).

Teman penyairku, namanya Widzar Al-Ghifary yang merupakan penyair muda yang udah banyak meraih penghargaan atas karya-karyanya dan dimuat dipelbagai media massa di Indonesia (walau dia nggak mau seheboh Andrei), pernah bilang sama aku, "Heh, penyair! Kalo kamu pengen nulis puisi yang bener, baca dulu puisi-puisi yang ditulis semenjak 1000 tahun yang lalu sampai puisi-puisi yang sekarang." (sebenernya dia ngutip kalimat itu dari seorang sastrawan yang pernah mengajarinya), mungkin artinya adalah kalo mau bikin tulisan yang bener, referensinya juga harus banyak, jangan karena hal yang itu-itu aja, atau malah menjadi korban "industri-industri besar" yang memberi peluang omong kosong.

Jujur, aku malah lebih suka baca buku-buku jadul kayak "Atheis" karya Achdiat K.Mihardja. Itu merupakan buku favoritku. Walau jadul, tapi isi kandungannya jauh lebih baik daripada (kebanyakan) novel pop Indonesia jaman sekarang (karena dulunya juga aku penggemar sastra pop, tapi setelah membaca banyak sastra klasik ataupun sastra mutakhir yang "bener", I've changed my mind!). Mungkin intinya adalah, rakyat di negeri Indonesia ini sering lupa akan sejarahnya sendiri hingga hilanglah identitasnya sendiri, wekekekeke...
Sebenarnya, Indonesia punya karya-karya asyik dari masa lalu, tapi orang-orang malah beli novel-novel pop yang kesannya gimana... dan memuja2nya, karena mereka sama sekali gak baca novel2 jaman dulu. Karena dianggapnya jadul lah, nggak keren lah, dll... makanya, pemikiran bangsa ini kurang begitu maju. Tapi, ya namanya juga orang, butuh proses buat maju... :)

Okay, wah kepanjangan banget nih... senda ngebaca gak? hehee...

Best Regards
(senda, dateng ya ke websiteku di www.ibswebsite.tk , itu bukan blog! :) hehehe... narsis ceunah :D)

Posting Komentar