Kamis, Oktober 09, 2008

Sebuah Kain Tenun



Pada suatu hari ada seorang hamba Allah yang ingin melakukan perjalanan ke Baitullah. Ia adalah seorang yang pandai membuat kain tenun. Kain-kain yang dihasilkannya memiliki kualitas yang baik dan tidak memiliki cela sedikitpun. Kemampuannya ini didasari atas ketekunannya yang tidak pernah berhenti ketika ia membuat sebuah kain tenun. Dari sinilah ia memiliki pemikiran untuk menjual sebuah kain tenun yang dibuatnya untuk bekal ia selama perjalanan menuju Baitullah.
Selama berminggu-minggu ia dengan tekunnya mengerjakan kain itu dengan sangat teliti dan hati-hati. Siang malam tidak dapat mengekang keinginannya untuk mengerjakan kain itu agar ia bisa pergi ke Baitullah.
Beberapa minggu kemudian ia menyelesaikan sehela kain tenun yang dibuatnya. Dengan yakinnya ia membawa kain itu ke sebuah pasar. Dicarinya toko kain yang terbaik di pasar tersebut. Hingga akhirnya ia menemukan toko kain yang mampu membeli kain tenun dengan harga yang mahal.
Sesampainya di toko, ia disambut dengan senyum hangat dan sapa dari pemilik toko. Ketika ia datang ia melihat banyak kain-kain tenun yang baik kualitasnya dijual di sini. Sang tukang tenunpun yakin, harga kainnya akan dibayar dengan harga yang tinggi. Dan ia pun kemudian memberanikan diri menawarkan kainnya kepada sang saudagar.
Sang saudagar kemudian bertanya kepada sang pembuat tenun. “Ya hamba Allah berapa harus kubayar kain tenunmu jika engkau menjual kepadaku?“, dengan yakinnya sang pembuat tenun berkata, “30 Dirham wahai saudagar kain.“
Saudagar kainpun meneliti dengan seksama kain tersebut. Dilihatnya dengan seksama, bolak balik kain itu dimainkan oleh tangannya sembari mengecek kualitas dari bahan tersebut. Cukup lama saudagar meneliti kualitas dari kain tersebut hingga akhirnya kain tenun yang dihargai sang pembuat tenun 30 Dirham, ternyata hanya dihargai 6 Dirham.
Kemudian sang pembuat kain tenun itu mengeluarkan air matanya dan menangis di depan sang saudagar. Sang saudagar bingung bukan kepalang, ia kemudian menaikkan harga kain tersebut menjadi 7 Dirham, namun tidak ada yang berubah dari seorang pembuat tenun. Ia menangis semakin keras, bahkan lebih keras daripada sebelumnya. Sang saudagar semakin bingung, hingga ia berkata “Ya hamba Allah aku akan bayar kainmu 8 Dirham, namun ini adalah penawaran terakhir kepadamu. Jika kamu terima tawaranku akan kubayar saat ini juga, tetapi jika engkau tidak mau silahkan kau bawa kembali kainmu.“ Sang pembuat tenun tetap menangis bahkan kali ini tangisannya sangat memilukan melebihi tangisan sebelumnya.
Sang saudagarpun bingung hingga kemudian ia mendekati sang pembuat tenun seraya bertanya, “Ya hamba Allah sebenarnya apa yang membuat hatimu bersedih dan menangis. Apakah karena tawaranku ini?“
Kemudian sang pembuat tenun ini menggelengkan kepalanya, seraya berkata “bukan, bukan karena itu saudagar“. Saudagar itupun kemudian menanyakan kembali kepadanya, “lantas apa yang membuat engkau bersedih?“. Mendengar pertanyaan itu ia kemudian menceritakan ihwal yang menyebabkan ia bersedih.
“Ketahuilah wahai saudagar aku menangis bukan karena tawaran yang engkau berikan kepadaku. Aku menangis karena memikirkan ibadahku selama ini, jika engkau yang ahli dalam menilai sebuah kain bisa menilai dengan baik kualitas pekerjaan yang aku kerjakan. Lantas bagaimana Allah menilai ibadahku selama ini? Selama ini aku menjalankan semua perintahnya, wajib dan sunah sudah kukerjakan semua. Bahkan setiap tahun aku tidak pernah meninggalkan perintah haji. Lantas apakah penilaian ibadah terhadapku ini sama seperti penilaian Allah kepada diriku. Aku yang menghabiskan waktu siang dan malan hanya untuk mengerjakan kain tenun itu saja hanya dihargai 8 Dirham, lantas bagaimana dengan ibadahku selama ini?...”
***
Inilah penggalan cerita tentang sebuah makna kain tenun yang menjadi inspirasi saya ketika menunaikan ibadah I’tikaf di Al Azhar. Ketika mendengar cerita ini diri ini berkata “Ya Allah, sang pedagang tenun yang selalu beribadah kepadamu tanpa lelah saja, jatuh redam hatinya ketika mengetahui bahwa ibadah yang dilakukannya belum tentu memiliki nilai yang sama seperti yang ia pikirkan. Apalagi saya yang jarang sekali menunaikan sunnah, bahkan seringkali melakukan hal-hal yang dilarangmu. Apa arti diri ini dihadapanmu ya Allah.”
Aku terdiam dan bergumul dalam imaji diri. Hati terisak mengingat perkataan Allah bahwa ada hambanya yang melakukan semua ibadah yang menurutnya baik dan sempurna, namun tidak ada artinya di mata-Nya. Lantas bagaimana dengan diriku ya Allah?
Dari perjalanan ini aku mempelajari sebuah makna mendalam tentang arti ibadah. Kualitas ibadah tidak bisa dibandingkan dengan kuantitas ibadah, ibadah juga bukan ritual kebiasaan yang hanya dilakukan oleh turun temurun atas pendahulu kita dan ibadah juga bukan simbol ketaatan kita kepada Sang Khalik sebab bisa saja semua itu adalah kepalsuan dari bagian diri kita yang lain.
Dari sinilah saya belajar ibadah adalah sebuah makanan qalb untuk senantiasa dekat dengan Allah, ibadah juga sebuah cara untuk lebih dekat dengan-Nya, ibadah juga sebuah jalan untuk melihat arti dan makna hidup kita di dunia, karena ibadah bukan sekedar kewajiban, karena ibadah adalah sebuah kebutuhan untuk sekarang, nanti... hingga jiwa dijemput ke alam lain.

Salam Inspirasi

Irawan Senda

0 komentar:

Posting Komentar